SILAHKAN DOWNLOAD TABEL AHLI WARIS DI HALAMAN PALING BAWAH
1. WARIS ISLAM
Kata “al-miiraats”dalam bahasa arab
merupakan bentuk masdar dar kata : Waratsa – yaritsu – irtsan – wamiiraatsan.
Pengertian “mirats” menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang
kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain, bisa berupa
harta, ilmu, keluhuran atau kemuliaan. [1][1]
Sedangkan
menurut istilah waris ialah berpindahnya hak milik dari mayit kepada ahli waris
yang hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta, kebun atau hak-hak syariyah. [2]
2. HARTA WARISAN
Harta waris adalah semua harta benda
yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia (pewaris) naik harta
benda itu sudah dibagikan atau belum. [2][3]
Sedangkan Prof. Dr. R. Wirjono
Prodjodikoro, SH yang memberikan batas-batas mengenai warisan menyebutkan bahwa
harta warisan (nalaten schap) yaitu ujub kekayaan yang ditinggalkan dan selalu
beralih kepada para ahli waris. [3][4]
Dalam islam harta waris sering
disebut dengan tirkah (harta pusaka). Tirkah yaitu apa saja yang ditinggalkan
seseorang sesudah matinya, baik berupa harta, hak-hak maliyah atau ghairu
maliyah. Maka apa saja yag ditinggalkan seseorang sesudah mati diistilahkan
dengan TIRKAH, baik mayat punya hutang atau tidak. Ada beberapa hak yang
berkaitan dengan tirkah yang urutannya adalah sebagai berikut : [4][5]
1. Mempersiapkan segala keperluan mayit
dan mengkafaninya dengan ukuran ongkos pada umumnya, tidak berlebih dan tidak
kurang.
2. Dibayarkan hutang-hutangnya, yaitu
hutang-hutang yang dituntut oleh seseorang dan hutag-hutang yang menjadi
tanggungjawab si mayat yang meninggalkan warisan. Maka tirkah tidak boleh
dibagi ahli warisnya, sebelum hutang-hutang mayat dibayar. Tentang
hutang-hutangny kepada Allah yang tidak mungkin di tuntut manusia , seperti
hutang zakat, kafarat, nadsar dan sebagainya, maka menurut Imam Abu Hanifah
tidak dibayarkan dari tirkah. Menurut Jumhur Ulama diambilkan dari tirkah,
maksudnya ia wajib dikeluarkan dan diserahkan sebelum pembagian tirkah
dilaksanakan.
3. Memenuhi wasiat yang jumlahnya
sepertiga, yang diberikan kepada selain ahli waris, tanpa menunggu izin
seseorang. Hal ini dilakukan sesudah membayar apa yang diperlukn mayat dan
sesudah dibayar hutang-hutangnya. Jika wasiat lebih dari sepertiga harta, maka
tidak dapat dilaksanakan kecuali ada kerelaan dari ahli waris.
4. Sisa dari tirkah dibagi diantara
ahli waris menurut ketentuan al-qur’an, sunnah dan ijma’ ulama, yang dimulai
pmeberiannya kepada ashabul furudl, kemudian ashabat dan seterusnya.
3. AHLI WARIS
Ahli waris
ialah orang yang berhak mendapat bagian dari harta peninggalan. Ada tiga
golongan ahli waris menurut ajaran kewarisan bilateral yaitu [5][6]
a.) Dzul faraa-idh
ialah ahli waris yang mendapat bagian warisan tertentu dalam keadaan tertentu.
b.) Dzul qarabat ialah ahli waris yang mendapat bagian
warisan yang tidak tertentu jumlahnya atau disebut juga memperoleh bagian
terbuka.
c.) Mawali ialah
ahli waris pengganti. maksudnya adalah ahli waris yang menggantikan seseorang
untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang
digantikan itu.
4. SEBAB-SEBAB MEWARISI
Hak untuk mewaris didasarkan atas
berbagai hubungan antara si pewaris dengan si waris menurut perbedaan masa dan
jalan pikiran serta tempat. Kita akan mencoba menemukan perbedaannya dan
ketiganya itu terdapat didaerah Jazirah Arab sekitar Mekah dan Madinah. [7][8]
a.
Hubungan
darah
Mewaris disini berlaku hanya bagi laki-laki
yang sanggup mengendarai kuda, memerangi musuh dan merebut rampasan perang dari
musuh dan tidak berlaku bagi perempuan serta anak kecil biarpun laki-laki
karena mereka tidak sanggup berperang.
b. Hubungan sebagai anak angkat
Seorang anak orang lain yang
diangkat oleh seseorang menjadi anak angkat, mendapat hak sebagai aak dalam hal
mewaris dan lainnya.
c.
Hubungan
berdasarkan sumpah dan janji
Apabila dua orang bersumpah dan
berjanji satu sama lain untuk menjadi saudara dan salig mewaris, jadilah mereka
saling mewaris. Apabila salah seorang meninggal dunia maka yang masih hidup
menjadi ahli waris atas harta peninggalan si meninggal.
2. Sebab-sebab mewaris di zaman Arab
sesudah datangnya islam
Pada awal mulanya perkembangan islam
masih berlaku ketentuan-ketentuan
menurut hukum adat arab sebelumnya, setelah hijrah ke Madinah perlahan
diterapkannya ketentuan-ketentuan baru. Ketentuannya sebagai berikut yaang
kemudian berangsur-angsur menjadi dasar untuk mewaris :
a.
Hubungan darah
Dalam hubungan darah ini tidak lagi
diberlakukan hanya bagi laki-laki yang sanggup berperang saja, namun semua yang
mempunyai hubungan darah.
b. Tidak diperlakukan lagi hubungan
sebagai anak angkat untuk menjadi sebab mewaris
Dahulu dalam hukum adat arab
diberlakukan ketentuan bahwa anak angkat sama dengan anak shalbi atau anak
kandung, namun dalam hal ini sudah tidak berlaku lagi. Karena hubungan anak
angkat tersebut tidak menimbulkan muhrim. Hubugan muhrim hanya timbul terhadap
anak anak kandung dan juga anak tiri dalam keadaan tertentu.
c.
Hubungan
janji untuk mewaris
Janji untuk mewaris tetap
dipertahankan dalam permulaan islam, namun oleh sarjana islam perjanjian untuk
mewaris ini tidak diberlakukan lagi.
d. Hijrah
Orang yang sesama hijrah pada awal
mulanya perkembangan islam itu saling mewaris sekalipun tidak mempunyai
hubungan darah. Sedangkan dengan kaum kerabatnya yang tidak sesama hijrah
bersama dia tidak saling mewaris. Namun kemudian mewaris karena hijrah ini
kemudian dihapus.
e.
Hubungan
persaudaraan
Rasul mempersaudarakan orang-orang
tertentu sesamanya karena keperluan yang ada pada suatu waktu. Dan tindakan
rasul itu mulanya menjadi sebab mereka yang dipersaudarakan itu saking mewaris.
Kedudukan mewaris karena dipersaudarakan rasul ini juga kemudian dihapus.
3. Akhirnya sesudah lengkap turunnya
ayat-ayat kewarisan serta petunjuk-petunjuk dari hadits Rasul yang berlaku
menjadi penyebab pewarisan dalam islam adalah dengan sebab-sebab hubungan darah
, hubungan semenda/pernikahan, hubungan memerdekakan budak, hubungan wasiat
untuk tolan seperjanjian termasuk anak angkat.
a.
Kekerabatan
sesungguhnya, yakni hubungan nasab, yaitu: Bapak, Ibu anak-anak ,
saudara-saudara, para paman dan lain-lain.
b. Pernikahan yaitu : akad nikah yang
sah, yang terjadi di antara suami istri, sekalipun sesudah pernikahan itu belum
terjadi persetubuhan atau berduaa di tempat sunyi (khalwat). Mengenai nikah fasid
atau nikah batal, tidak bisa menyebabkan hak mewaris.
c.
Perbudakan,
yaitu kekerabatan berdasarkan hukum , yang disebut “walaul itqi” atau “walaun
ni’mati”. Disebut demikian karena tuan yang memerdekakan telah memberi nikmat
(kemerdekaan) kepada budaknya. Dan setelahnya akan menimbulkan hubungan yang
disebut “walaul itqi”. Dengan sebab itulah maka ia berhak mewarisi, karena ia
telah memberikan kesenangan kepada budak, yang menyebabkan budak itum emperoleh
kemerdekaan dan sifat kemanusiaannya kembali sesudah ia dianggap,sebagai
binatang. Maka allah (pembentuk syariat) membalasnya dengan hak untuk mewaris
terhadap harta budak itu, yaitu apabila budak itu meninggal dan tidak mempunyai
ahli waris sama sekali. Hak mewaris ini bukan disebabkan oleh kekerabatan atau
perkawinan.
5. FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHALANGI
SALING MEWARISI
Halangan-halangan mewaris adalah
sifat-sifat yang mengakibatkan terhalangnya pewaris untuk mewaris, yaitu : [10][11]
a.
Budak
Budak tidak boleh mewaris karena
jika seorang budak mewarisi sesuatu maka akan diambil tuannya. Padahal tuannya
itu adalah orang lain, bukan merupakan kerabat si budak. Cukup populer
pernyataan ahli hukum islam yang menyatakan bahwa budak dan apa saja yang
dimiliki adalah menjadi milik tuannya.
Baik keadaan budak itu qinna (budak
murni) atau mudabbar (yaitu budak, dimana tuannya telah menyatakan kepadanya
:”kamu bebas merdeka sesudah kematianku”) , atau mukatab (yaitu budak yang
diwajibkan oleh tuannya untuk memenuhi sejumlah harta, kemudian dikatakan
kepadanya, misalnya :”jika kamu memberikan kepadaku seratus juta, maka kamu
bebas, merdeka”). Atau budak yang untuk kemerdekaannya dikaitkandengan suatu
sifat. Seperti tuannya mengatakan :”jika isteriku melahirkan anak laki-laki,
maka kamu bebas. Dan demikian juga akan segala maca budak, tidak boleh mewaris.
Sebagaimana budak tidak boleh mewaris, maka ia juga tidak boleh diwarisi,
karena ia tidak mempunyai harta.
b. Pembunuhan
Apabila penerima waris membunuh
pemberi waris maka ia tidak boleh mewaris hartanya. Hal ini didasarkan oleh Q.S
Al-baqarah ayat 72
“Dan ingatlah ketika kamu membunuh
seorang manusia lalu kamu saling menuduh tentang itu. Dan Allah hendak
menyingkap apa yag selama ini kamu sembunyikan”.
Lalu ia membunuhnya agar segera mewarisi,
maka ia dilarang untuk mengambil warisan dan bahkan di qisas.jika ini tidak
dilalkukan maka akan ada banyak pembunuhan demi mendaparkan warisan dengan
segera.
c.
Perbedaan
agama
Perbedaan agama misalnya islam dan
kafir maka orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang islam. Dan orang islam
tidak boleh mewarisi dari orang kafir. Sebagian ulama berpendapat bahwa orang
islam boleh mewarisi harta orang kafir, namun sebaliknya tidak boleh.
6. KEDALUARSA DALAM SISTEM KEWARISAN
Secara
eksplisit memang tidak dijelaskan mengenai kedaluwarsa dalam sistem kewarisan
namun dalam kitab undang-undang hukum perdata sedikit disebutkan mengenai
kedaluwarsa, yakni
1993. Lewat waktu yang sudah mulai
berjalan sebelum Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini diundangkan, harus
diatur menurut undang-undang yang pada saat itu berlaku di Indonesia.
Namun lewat waktu demikian yang menurut
perundang-undangan lama masih membutuhkan waktu selama lebih dari tiga puluh
tahun, terhitung sejak Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini diundangkan, akan
terpenuhi dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun. [11][12]
7. IJBARI, BILATERAL, INDIVIDUAL,
KEADILAN , BERIMBANG DAN AKIBAT KEMATIAN
Klasifikasi
asas-asas hukum kewarisan islam dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut
yang digali dari ayat-ayat hukum kewarisan serta SunnaH Nabi Muhammad saw( Amir
Syarifuddin, 1984:18 ) : [12][13]
a.
Ijbari
Secara epistimologi “ijbari” berarti
mengandung arti “paksaan” (compulsory), yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak
sendiri.
Asas-asas ijbari ini dapat dilihat dari
beberapa segi, yaitu :
1.)
dari segi
peralihan harta
2.)
dari segi
jumlah harta yang beralih
3.)
dari segi kepada
siapa harta itu beralih
b.
bilateral
Maksud dari asas bilateral dalam hukum
kewarisan islam adalah bahwa seseorang menerima hak warisan dari kedua belah
pihak garis kerabat, yaitu dari garis keturunan perempuan maupun garis
keturunan laki-laki. Asas bilateral juga berlaku untuk kerabat garis kesamping
yaitu melalui ayah dan ibu
c.
individual
Maksud dari asas individual itu sendiri
adalah setiap ahli waris(secara individu) berhak atas bagian yang didapatnya
tanpa terikat kepada ahli waris lainnya. Ketentuan Al-qur’an surat An-Nisa’
ayat 7 mengemukakan bahwa bagian masing-masing (ahli waris secara
individu)telah ditentukan.
d.
keadilan
berimbang
Maksud dari asas keadilan berimbang
yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang
diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Dengan kata lain, bahwa faktor jenis
kelamin tidak lah menentukan dalam hak kewarisan. Dasar hukum asas ini yaitu
Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 7, 11, 12, dan 176.
e.
akibat kematian
Hukum waris islam memandang bahwa
terjadinya peralihan harta hanya semat-mata disebabkan adanya kematian. Dengan
perkataan lain harta seseorang tidak dapat beralih (dengan pewarisan)
seandainya dia masih hidup. Walaupun ia berhak untuk mengatur hartanya, hak
tersebut semata-mata hanya sebatas keperluannya semasa ia masih hidup, dan
bukan untuk penggunaan harta tersebut sesudah ia meninggal dunia.
1. Tujuan dari
ilmu faraid / hokum waris adalah:
- Untuk melaksanakan pembagian
harta warisan kepada ahli yang berhak menerimanya.
- Untuk mengetahui secara jelas
siapa yang berhak menerima harta warisan serta bagiannya.
- Untuk menghindari perselisihan
diantara ahli waris.
2. Dasar hukum waris
a. Al-Qur’an
- - Surat An-Nisa’ ayat 7-8, 11,
12, 33 dan 176
- - Surat An-Anfal ayat 72, 75
- - Surat Al-Ahzab ayat 6
b. Hadist
- - H.R. Al-Bukhari nomor 6235
- - H.R Ahmad nomor 305
c. Ijmak ( Dikemukakan oleh para
Sahabat dan Tabiin)
Selain ketiga dasar hokum diatas, masalah kewarisan umat Islam di Indonesia dibahas dalam Kompilasi Hukum Islam pada Buku II. Pembagiannya dilakukan oleh pengadilan agama berdasarkan Kompilasi Hukum tersebut.
3. Rukun hukum waris
Agar sah menurut hukum, pewarisan harus memenuhi rukun-rukun sebagai berikut:
Selain ketiga dasar hokum diatas, masalah kewarisan umat Islam di Indonesia dibahas dalam Kompilasi Hukum Islam pada Buku II. Pembagiannya dilakukan oleh pengadilan agama berdasarkan Kompilasi Hukum tersebut.
3. Rukun hukum waris
Agar sah menurut hukum, pewarisan harus memenuhi rukun-rukun sebagai berikut:
- Harta yang ditinggalkan
(maurus)
- Orang yang meninggal dunia (muwarris)
- Orang yang akan mewarisi (ahli
waris)
- Harta warisan tidak menanggung
hak-hak orang lain , contohnya hak orang lain seperti utang, wasiat dan
biaya penguburan jenazah.
4. Syarat hukum waris
- Meninggalnya muwarris
- Hidupnya ahli waris saat
mawarris meninggal
- Tidak adanya penghalang untuk
saling mewarisi
5. Hilangnya waris mewarisi
- Pembunuh, yakni apabila ahli
waris membunuh pewaris.
- Berbeda agama, yakni apabila
ahli waris murtad dari agama Islam dan memelu agama lain.
- Hamba sahaya
- Murtad
SILAHKAN DOWNLOAD TABEL DISINI